STRATEGI PENELITIAN
KUALITATIF
Starategi penelitian dapat dikatakan sebagai sebuah bentuk cara seorang peneliti dalam melakukan penelitian, baik yang akan di lakukan di lapangan ataupun di lab. Strategi-strategi yang digunakan seorang peneliti ini akan juga menentukan hasil dari apa yang ia teliti, mengenai juga sumber-sumber data yang dicari. di dalam strategi penelitian kualitatif, dikenal dalam beberapa strategi penelitian, diantaranya :
1.
STUDI
KASUS
Strategi
penelitian studi kasus sebuah metode penelitian yang secara khusus menyelidiki
fenomena kontemporer yang terdapat dalam konteks kehidupan nyata, yang
dilaksanakan ketika batasan-batasan antara fenomena dan konteksnya belum jelas,
dengan menggunakan berbagai sumber data.
Creswell (1998) menjelaskan bahwa suatu
penelitian dapat disebut sebagai penelitian studi kasus apabila proses
penelitiannya dilakukan secara mendalam dan menyeluruh terhadap kasus yang
diteliti, serta mengikuti struktur studi kasus seperti yang dikemukakan oleh
Lincoln dan Guba (1985), yaitu: permasalahan, konteks, isu, dan pelajaran yang
dapat diambil. Banyak penelitian yang telah mengikuti struktur tersebut tetapi
tidak layak disebut sebagai penelitian studi kasus, karena tidak dilakukan
secara menyeluruh dan mendalam. Penelitian-penelitian tersebut pada umumnya
hanya menggunakan jenis sumber data yang terbatas, tidak menggunakan berbagai
sumber data seperti yang disyaratkan dalam penelitian studi kasus, sehingga
hasilnya tidak mampu mengangkat dan menjelaskan substansi dari kasus yang
diteliti secara fundamental dan menyeluruh.
pada
penelitian kualitatif, terdapat obyek penelitian yang harus dipandang secara
khusus, agar hasil penelitiannya mampu menggali substansi terperinci dan
menyeluruh dibalik fakta. Obyek penelitian yang demikian, yang disebut sebagai
‘kasus’, harus dipandang sebagai satu kesatuan sistem dibatasi (bounded
system) yang terikat pada tempat dan kurun waktu tertentu. Sebagai sistem
tertutup, kasus terbentuk dari banyak bagian, komponen, atau unit yang saling
berkaitan dan membentuk suatu fungsi tertentu (Stake, 2005). Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu metoda yang tepat untuk untuk dapat mengungkapkan mengapa dan
bagaimana bagian, komponen, atau unit tersebut saling berkaitan untuk membentuk
fungsi. Metoda tersebut harus mampu menggali fakta dari berbagai sumber data,
menganalisis dan menginterpretasikannya untuk mengangkat substansi mendasar
yang terdapat dibalik kasus yang diteliti.
Untuk
membuat studi kasus ini beberapa pedoman yang harus diperhatikan seperti
hakekat kasus, sejarah, latar belakang fisik, konteks (sosial, ekonomi, politik
dan hukum), hubungan antar kasus dengan kasus lain. Dengan demikian kasus tidak
dapat dipisahkan dari kontek general diman ia menjadi bagian dalam pembentukan
pengalaman individunya. Untuk itu kasus konteks sosial budaya maupun sosial
ekonomi tehadap kehidupan orang atau sekelompok orang.
2.
ETNOGRAFI
ATAU ETNOSAINS
Etnografi
pada awalnya merupakan cabang antropologi yang digunakan untuk menggambarkan,
menjelaskan dan mengnalisis unsur kebudayaan suatu masyarakat atau suku bangsa.
Etnografi biasanya terdiri atas uraian terperinci mengenai aspek cara
berperilaku dan cara berpikir yang sudah membaku pada orang yang dipelajari,
yang dituangkan dalam bentuk tulisan, foto, gambar atau film. Karena kebudayaan
meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan perilaku dan pemikiran, dan
keyakinan suatu masyarakat, yang dipelajari oleh ahli etnografi bisa berbentuk
bahasa, mata pencaharian, sistem teknologi, organisasi sosial, kesenian, sistem
pengetahuan, bahasa dan religi. Untuk memahami unsur-unsur kebudayaan tersebut,
peneliti biasanya tinggal bersama masyarakat yang diteliti dalam waktu yang
cukup lama untuk mewawancarai, mengamati, dan mengumpulkan dokumen-dokumen
tentang obyek yang diteliti. Dan banyak dari antropologi budaya yang menekankan
studi perbandingan, namun pada perkembangan studi perbandingan mengalami
berbagai hambatan.
Menurut
Goodenough (dalam ahimsa-putra, 1996: 105), ada tiga masalah pokok yang
menghambat studi perbandingan, yaitu :
1.
Mengenai
ketidaksamaan data etnografi yang disebabkan oleh perbedaan minat dikalangan
ahli antropologi;
2.
Masalah
sifat data, artinya seberapa jauh data tersebut bisa dikatakan melukiskan
gejala yang sama dari masyarakat yang berbeda;
3.
Menyangkut
soal klsifikasi.
3.
FENOMENOLOGI
Dalam
kajian fenomenologi, terdiri dari fenomenologi transendental dan fenomenologi
eksistensial. Istilah ’fenomenologi’ sering digunakan sebagai anggapan umum
untuk menunjuk pada pengalaman subjektif dari berbagai jenis dan tipe subjek
yang ditemui (Lexy J Moleong, 2007). Fenomenologi diartikan sebagai: 1)
pengalaman subjektif atau pengalaman fenomenologikal; 2) suatu studi tentang
kesadaran dari perspektif pokok dari seseorang (Husserl dalam Moleong,
2007). Menurut Moleong, peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha
memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap
orang-orang yang berada dalam situasi-situasi tertentu.
Fenomenologi
tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang
sedang diteliti oleh mereka. Inkuiri fenomenologis memulai dengan diam. Diam
merupakan tindakan untuk menangkap pengertian sesuatu yang sedang diteliti.
Jadi yang ditekankan dalam fenomenologi adalah pemahaman
terhadap pengalaman subyektif atas peristiwa dan kaitan-kaitannya yang melingkupi
subyek.
Berikut adalah komponen konseptual
dalam fenomenologi transendental Husserl:
a. Kesengajaan (Intentionality)
a. Kesengajaan (Intentionality)
Kesengajaan (intentionality)
adalah orientasi pikiran terhadap suatu objek (sesuatu) yang menurut Husserl,
objek atau sesuatu tersebut bisa nyata atau tidak nyata. Objek nyata seperti
sebongkah kayu yang dibentuk dengan tujuan tertentu dan kita namakan dengan
kursi. Objek yang tidak nyata misalnya konsep tentang tanggung jawab,
kesabaran, dan konsep lain yang abstrak atau tidak real. Husserl menyatakan
bahwa kesengajaan sangat terkait dengan kesadaran atau pengalaman seseorang
dimana kesengajaan atau pengalaman tersebut dipengaruhi oleh faktor kesenangan
(minat), penilaian awal, dan harapan terhadap objek. Misalnya minat terhadap
bola akam menentukan kesengajaan untuk menonton pertandingan sepak bola.
b. Noema dan Noesis
Noema atau noesis merupakan turunan
dari kesengajaan atau intentionality. Intentionality adalah maksud memahami
sesuatu, dimana setiap pengalaman individu memiliki sisi obyektif dan
subyektif. Jika akan memahami, maka kedua sisi itu harus dikemukakan. Sisi
obyektif fenomena (noema) artinya sesuatu yang bisa dilihat, didengar,
dirasakan, dipikirkan, atau sekalipun sesuatu yang masih akan dipikirkan (ide).
Sedangkan sisi subyektif (noesis) adalah tindakan yang dimaksud (intended act)
seperti merasa, mendengar, memikirkan, dan menilai ide.
Terdapat kaitan yang erat antara
noema dan noesis meskipun keduanya sangat berbeda makna. Noema akan membawa
pemikiran kita kepada noesis. Tidak akan ada noesis jika kita tidak
mengawalinya dengan noema. Begini mudahnya. Kita tidak akan tau tentang
bagaimana rasanya menikmati buah durian (noesis karena ada aspek merasakan,
sebagai sesuatu atau objek yang abstrak) jika kita sendiri belum mengetahui
seperti apa wujud durian (noema karena berkaitan dengan wujud, sebagai sesuatu
atau objek yang nyata).
c. Intuisi
Intuisi yang masuk dalam unit
analisis Husserl ini dipengaruhi oleh intuisi menurut Descrates yakni kemampuan
membedaka “yang murni” dan yang diperhatikan dari the light of reason alone
(semata-mata alasannya). Intuisilah yang membimbing manusia mendapatkan
pengetahuan. Bagi Husserl, intuisilah yang menghubungkan noema dan noesis.
Inilah sebabnya fenomenologi Husserl dinamakan fenomenologi transendental,
karena terjadi dalam diri individu secara mental (transenden).
d. Intersubjektivitas
Makna intersubjektif ini dijabarkan
oleh Schutz. Bahwa makna intersubjektif ini berawal dari konsep ‘sosial’ dan
konsep ‘tindakan’. Konsep sosial didefinisikan sebagai hubungan antara dua atau
lebih orang dan konsep tindakan didefinisikan sebagai perilaku yang membentuk
makna subjektif. Akan tetapi, makna subjektif tersebut bukan berada di dunia
privat individu melainkan dimaknai secara sama dan bersama dengan individu
lain. Oleh karenanya, sebuah makna subjektif dikatakan intersubjektif karena
memiliki aspek kesamaan dan kebersamaan (common and shared).
4.
ETNOMETODELOGI
Neuman (1997) mengartikan etnometodologi
sebagai keseluruhan penemuan, metode, teori, suatu pandangan dunia.
Pandangan etnometodologi berasal dari kehidupan. Etnometodologi
berusaha memaparkan realitas pada tingkatan yang melebihi sosiologi, dan ini
menjadikannya berbeda banyak dari sosiologi dan psikologi. Etnometodologi
memiliki batasan sebagai kajian akal sehat, yakni kajian dari observasi
penciptaan yang digunakan terus-menerus dalam interaksi sosial dengan
lingkungan yang sewajarnya. Secara terminology, etnometodologi.
Diterjemahkan sebagai sebuah metode
pengorganisasian masyarakat dengan melihat beberapa aspek kebutuhan,
diantaranya: pencerahan dan pemberdayaan. Etnometodologi bukanlah metode
yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data, melainkan menunjuk pada
permasalahan apa yang akan diteliti. Etnometodologi adalah studi tentang
bagaimana individu menciptakan dan memahami kehidupan sehari-hari, metodenya
untuk mencapai kehidupan sehari-hari. Etnometodologi didasarkan pada ide
bahwa kegiatan sehari-hari dan interaksi sosial yang sifatnya rutin, dan umum,
mungkin dilakukan melalui berbagai bentuk keahlian, pekerjaan praktis, dan
asumsi-asumsi tertentu. Keahlian, pekerjaan praktis, dan asumsiasumsi itulah
yang disebut dalam etnometodologi.
Tujuan utama etnometodologi adalah
untuk mempelajari bagaimana anggota masyarakat selama berlangsungnya interaksi
sosial, membuat sense of indexical expression. Istilah indexical
tidak bermakna universal namun bergantung pada konteks (misalnya, ia, dia,
mereka). Sifatnya terbatas pada yang diindeks atau dirujuk Subjek etnometodologi
bukanlah anggota-anggota suku-suku terasing, melainkan orang-orang dalam
perbagai macam situasi dalam masyarakat kita. Etnometodologi berusaha
memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, menerangkan, dan menguraikan
keteraturan dunia di tempat mereka hidup.Pemanfaatan metode ini lebih dilatari
oleh pemikiran praktis (practical reasoning) ketimbang oleh kemanfaatan
logika formal (formal logic).
Etnometodologi ditakrifkan
sebagai kajian mengenai pengetahuan, aneka ragam prosedur dan pertimbangan yang
dapat dimengerti oleh anggota masyarakat biasa. Masyarakat seperti ini bisa
mencari jalan dan bisa bertindak dalam keadaan dimana mereka bisa menemukan
dirinya sendiri (Ritzer, 1996).
5.
GROUNDED
THEORY
Penelitian
GT dikembangkan pertama kali pada tahun 1960s oleh dua sosiologis, Barney
Glaser and Anselm Strauss berdasarkan penelitian yang mereka lakukan pada
pasien-pasien berpenyakit akut di Rumah Sakit Universitas California, San
francisco. Sebagai respon, Glaser dan Strauss menerbitkan The Discovery of
Grounded Theory (1967), buku yang menjelaskan prosedur metode GT secara
terperinci. GT merupakan metodologi penelitian kualitatif yang berakar pada
kontruktivisme, atau paradigma keilmuan yang mencoba mengkontruksi atau
merekontruksi teori atas suatu fakta yang terjadi di lapangan berdasarkan pada
data empirik. Kontruksi atau rekontruksi teori itu diperoleh melalui analisis
induktif atas seperangkat data emik berbentuk korpus yang diperoleh berdasarkan
pengamatan lapangan. Hal ini didukung Borgatti (1990) dengan menjelaskan bahwa frasa
"grounded theory", nama yang diberikan kepada GT, merujuk pada
“theory that is developed inductively from a corpus of data”. Data-data yang
dianalisis merupakan emik karena data-data itu diperoleh berdasarkan penuturan,
tindakan, dan pengalaman para partisipan. Data-data itu kemudian
diidentifikasi, diberi kode, dikategorikan, dan secara konstan dibandingkan
satu dengan yang lain.
Tujuan
penelitian GT adalah merekonstruksi teori-teori yang digunakan untuk memahami
fenomena. Elliott dan Lazenbatt (2005) mengatakan: “With its origins in
sociology, grounded theory emphasises the importance of developing an
understanding of human behaviour through a process of discovery and induction
rather than from the more traditional quantitative research process of hypothesi
testing and deduction.” Oleh karena itu, GT sesuai digunakan dalam rangka
menjelaskan fenomena, proses atau merumuskan teori yang umum tentang sebuah
fenomena yang tidak bisa dijelaskan dengan teori yang ada. Haig (1995)
mengatakan bahwa meskipun GT pada awalnya diterapkan dan dikembangkan di bidang
sosiologi, metode ini dapat dan telah digunakan dengan baik di berbagai
disiplin ilmu, seperti pendidikan, keperawatan, ilmu politik, dan psikologi.
Khusus di bidang pendidikan, Creswell (2008: 432) mengatakan bahwa GT sangat
sesuai digunakan untuk meneliti proses pengembangan kemampuan menulis di
kalangan siswa atau proses pengembangan karir di kalangan wanita Amerika-Afrika
dan Kaukasia yang berprestatsi tinggi. GT juga sesuai digunakan untuk meneliti
tindakan manusia, seperti proses keikutsertaan para peserta yang mengikuti
kelas-kelas pendidikan orang dewasa, atau untuk meneliti interaksi antar
individu, seperti dukungan yang diberikan para pejabat sebuah jurusan kepada
para peneliti fakultas.
6.
METODE
BIOGRAFI
Dalam
siklus hidup seseorang, dari kelahiran hingga kematian, berbagai kejadian
dialami individu. Pengalaman ini merupakan unsur yang sangat menarik untuk
diketahui karena ia bersifat akumulatif yang tidak hanya menjelaskan apa saja
yang dialami seseorang, tetapi setting di mana kejadian dan pengalaman itu
berlangsung. Metode biografi bereusaha merekam kembali pengalaman yang
terakumulasi resebut. Biografi karenanya merupakan sejarah individual yang
menyangkut berbagai tahap kehidupan dan pengalaman yang dialami dari waktu ke
waktu.
Biografi
ini memiliki banyak varian, antara lain potret, profil, memoar, life history,
autobiografi, dan diary. Varian semacam ini tidak hanya menunjukkan cara di
dalam melihat pengalaman yang terakumulasi tersebut, tetapi juga memperlihatkan
perluasan dari metode ini sebagai metode yang penting dalampenelitian sosial.
Bahan
yang digunakan dalam biografi ini adalah dokumen (termasuk surat-surat pribadi)
dan hasil wawancara, tidak hanya dengan orang yang bersangkutan, tetapi juga
dengan orang yang disekelilingnya. Dengan cara ini pula individu dapat
dikendalikan dalam mempersoalkan masalah kebenaran dalam informasi yang
diperoleh, dan sekaligus melihat data dari dimensi yang lain karena biografi
bagaimanapun juga merupakan bagian dari proses representasi sosial.
boleh minta daftar pustakanya?
BalasHapus